Novel Dewasa CMD - Pagi yang paling tidak ingin kulewati. Semalaman kurang tidur gara-gara Irfan, hingga membuatku enggan bangun. Masih ngantuk. Entah sudah berapa kali aku menguap, memaksakan diri bangun lebih cepat. Meski Mbok Nah terus melarang, tapi aku tetap membantu menyiapkan sarapan. Tidak enak sama mertua. Masa mantu kesayangan bangun kesiangan di hari pertama menginap di rumahnya?
"Loh, Sayang, udah bangun?" Mama baru keluar dari kamar. Beberapa saat kemudian, Papa menyusul di belakangnya. Mereka terlihat begitu harmonis di usia senja. Bikin mupeng. Beneran.
Semoga aku dan Irfan bisa juga seharmonis mereka hingga akhir hayat nanti.
Aku dan Mbok Nah sudah selesai memasak, lalu menyiapkan minuman panas untuk disajikan di meja makan. Kebiasaan mertua kalau pagi, berbincang sambil ngeteh dan ngopi. Semalam, Irfan kutanyai apa saja kebiasaan mereka ketika di rumah. Ingin totalitas dalam melayani. Kan, mantu idaman. Uhuk!
"Iya, Ma. Ini, teh sama kopi sudah siap." Sambil tersenyum, kuletakkan empat gelas berisi minuman panas di meja. Aku dan Papa minum kopi. Mama, teh. Sedangkan kesayanganku ... susu. No way!
Mama dan Papa menghampiri lalu duduk di seberang meja. Rentetan pujian meluncur manis bak kuah bubur sumsum dari bibir mama mertuaku itu. Memuji aku yang terlampau rajin karena bantuin pembantu masak. Sampai terasa bosan saking lebaynya itu pujian.
Padahal, bukan pujian yang kuharapkan. Cukup dengan pengakuan saja, jika mantu Mama ini tidaklah mengecewakan. Eh, sama aja kan, ya? Haahaa.
"Pagi Ma, Pa, Kak El ...!" Irfan sudah rapi. Memakai kaos oblong bewarna biru muda, serta celana jeans selutut. Dia memang selalu ... tampan.
Irfan mendekati kami, lalu mengecup pipi Mama. Khas anak manja.
Kulihat, rambutnya klimis dan itu bukan karena minyak rambut, melainkan karena masih basah. Ya Rabb, kenapa tidak di keringin dulu, sih? Memalukan!
Di sini udaranya amat sangat dingin, mana ada orang mandi subuh-subuh kalau bukan karena mandi wajib. Oke, kami ketahuan.
Irfan mendongak, lalu tersenyum menatapku. Lesung di pipinya membuat hatiku berdesir. Gemes, pengen nampol pakai bibir.
Perlahan, dia berjalan ke arahku dan duduk di sisi.
Mataku melebar saat mendapati leher Irfan yang penuh dengan bercak ungu. Apa semalam aku sebrutal itu?
Ya, ampun! Salah siapa semalam lampu cuma remang-remang? Kan, tidak kulihat sebelumnya. Tapi, apa iya Irfan juga tidak sadar? Pakai kemeja berkerah, kek.
Aku menggigit bibir bersamaan dengan suara terkikik Mama dan Papa. Mereka saling berbisik sambil menatap kami berdua.
Ya Allah, Gusti ... pengen ngumpet di kolong meja.
Setelah pesta pernikahan, hanya semalam kami menginap di rumah Mama. Entahlah, rasanya kurang bebas ketika berada di sana. Apalagi setelah ketahuan soal mandi pagi.
Untungnya, pemikiran Irfan sama denganku.
Kami juga memutuskan untuk tidak pergi berbulan madu. Menurutku dan Irfan, itu tidak perlu. Kapan pun, dan di mana pun, terasa seperti sudah berbulan madu, karena selalu berdua.
Seminggu belakangan, Irfan langsung pulang sehabis kuliah, tidak pakai mampir ke rumah Mama. Katanya, berjauhan sebentar denganku udah kangen.
Begitu juga denganku, yang hanya betah setengah hari di toko, pengen cepat-cepat pulang. Kangen juga sama Irfan. Kami sedang dimabuk cinta. Eeaa!
Seringkali, hal sederhana juga sudah mampu membuat kami bahagia. Tidak perlu muluk-muluk, apalagi sampai ngeluarin banyak duit untuk membuat hati berbunga.
Simpelnya, seperti yang kami lakukan malam ini.
"Coba lihat, deh, Kak. Itu bintang bentuknya sama kayak ular naga, ya." Irfan menunjuk ke arah langit malam yang bertaburan bintang.
"Bukan, itu mah mirip angsa." Aku tidak setuju.
Malam ini, kami tengah rebahan di atas tikar. Membuat api unggun di taman belakang rumah. Beberapa kue dan gorengan, segelas kopi dan juga susu, menjadi pelengkap. Bahkan sampai mendirikan tenda segala. Kelakuan siapa ini? Ya jelas, Irfan.
Katanya, anggap saja kita lagi kemping. Aneh-aneh saja itu anak. Lebih anehnya lagi, aku nurut juga.
"Kak El ngaco, deh. Mana ada angsa panjang begitu badannya. Kurus lagi."
"Ada, lah. Angsa kurang makan kan kurus."
Sambil terlentang, berbantal kedua tangan. Satu kaki ditekuk, dan yang satunya lagi bertopang, kami menatap langit bertaburan bintang. Sesekali telapak kaki kami bersatu mirip orang yang lagi high five.
"Ish, Kak El ngarang."
Aku terkekeh, lalu merubah posisi menjadi miring menatap dia.
"Fan, mau sampai kapan kamu manggil aku pake sebutan, Kak?" tanyaku. Geli aja lama-lama. Berasa kayak sama adik, bukan sama suami kalau pas lagi berduaan gini.
"Kenapa emang?" Dia ikutan miringin badan. Kepalanya juga bertopang sebelah tangan. Cahaya bulan dan api unggun yang berpendar menyinari wajahnya, membuatku terkesima, dia selalu kelihatan menggemaskan.
"Kak!" Dia ngagetin.
"Eh, engg ... anu, lucu aja." Aku gugup. Jantungku akhir-akhir ini sering seperti habis maraton kalau dekat dia.
"Seru, tau!" jawabnya.
"Seru di mananya?"
"Yaa, Irfan suka aja, gitu. Berasa punya istri yang udah dewasa."
"Kok, gitu?" Aku bertanya lagi.
Dia malah ngangkat-ngangkat kedua alis. Maksudnya apa, coba?
Lalu, obrolan mengalir begitu saja. Kami saling membahas masa lalu. Sesekali tangannya mengelus pipiku. Aku pun gantian nyubitin pipinya. Manis banget, ada lubangnya.
Irfan juga cerita dengan kejadian pelecehannya bertahun-tahun silam.
Saat itu situasi jadi mengharu biru. Kasihan Irfan, dia tersiksa karena itu.
Berubah lagi menjadi kocak saat aku membahas dia yang jatuh ketimpa lemari di rumah Mama. Aku ketawa, tapi dianya malu.
Tidak mau kalah, dia balik menyerang, membahas adegan aku nyium dia pas di mobil. Katanya, aku wanita dewasa yang genit. Bukannya malu aku malah bangga. Se-absurd itulah kami berdua.
Lelah mengobrol, sesekali saling kecup terus saling cubit. Bahagia. Ini adalah momen terindah dalam hidupku. Punya suami, sekaligus kayak punya saudara.
Tapi lama-lama aku mulai mengantuk. Mata sudah terasa berat untuk terbuka.
"Ngantuk, Fan," kataku.
"Belum," jawabnya.
"Elahh. Bukan nanya. Aku yang ngantuk." Aku berdecak.
"Ooh, ngantuk? Sini, bobok." Aku ditarik. Dia memelukku seperti bantal guling. Kebiasaannya sekarang memang begitu. Bukannya nyaman malah pengap, tidak bisa napas. Kaki panjangnya melingkar di pinggangku, sedangkan tangannya membenamkan wajahku di dadanya. Ini anak, kadang-kadang emang kejam.
"Berat, dih!" Kudorong kakinya. Irfan terkekeh manja.
"Ya sudah, ayo masuk ke tenda," ajaknya.
"Nggak mau, keras. Enakan juga di kasur." Aku berdiri ninggalin dia yang terkaget-kaget. Dia kira aku mau tidur di dalam tenda beralaskan matras yang tidak seberapa empuk seperti rencana dia? Ogah!
"Kak, tungguin." Dia sibuk matiin api, lalu mengumpulkan piring beserta gelas bekas makan camilan kami tadi.
Sewaktu masuk ke dalam kamar kulihat ponsel Irfan di atas nakas berkedip. Sekilas kulihat, ada beberapa panggilan tidak terjawab. Juga lima chat belum dibuka.
Nama kontaknya 'Tiara'. Siapa dia?
Kuraih benda pipih tersebut.
Jiwa kepoku meronta-ronta.
Kami memang tidak tertutup soal ponsel.
Bahkan kompak memakai kode buka kunci dengan angka yang sama. Tanggal pernikahan kami.
Menurut Irfan itu romantis. Padahal sebenarnya itu hanyalah alibiku, biar bisa memantau kegiatan dia doang. Takut aja entar digaet orang. Irfan, kan, ganteng.
Saat mau kubuka pesan itu, tiba-tiba Irfan nongol dari balik pintu.
"Kak, ada orang."
"Siapa?"
"Nggak tahu, bapak-bapak."
"Udah kamu suruh masuk?"
"Belum, bukain pintu juga enggak, aku lihatnya dari balik tirai doang."
"Lah, kok?"
ut, Kak. Dia serem. Jangan-jangan perampok."
Akhirnya ponsel kutaruh kembali. Mau nyamperin bapak-bapak yang kata Irfan serem. Aneh aja, masa perampok pakai ketuk pintu segala.
"Maaf, Mbak. Saya lihat dari jendela kamar, tadi ada api di belakang rumahnya Mbak. Apa jangan-jangan ada kebakaran?"
Ternyata itu bapaknya Mbak Rosma, tetangga sebelah. Dia emang baru datang dari luar kota dua hari yang lalu.
uhnya tinggi tegap. Kulit hitam, bermata tajam. Menurutku sih, keren. Kebayang masa mudanya dulu pasti gagah banget. Kata Irfan malah serem. Tapi rada genit orangnya. Padahal sudah tua.
"Ooh, enggak, Pak. Itu tadi kami bikin api unggun. Tapi sudah dimatiin sama suami saya," jawabku sopan. Meski sedikit risih dengan tatapan dia yang menelisik dari ujung kepala hingga ke ujung kakiku.
"Suami?" Dia kaget.
"Iya, Pak. Suami saya," jawabku menegaskan.
"Mbaknya udah punya suami, toh?" Raut wajahnya tampak kecewa.
"Udah, Pak. Itu dia." Aku menoleh ke belakang, Irfan kelihatan sembunyi di balik lemari kaca. Dasar cemen.
"Ooh, saya kira dia itu adeknya, Mbak." Dia garuk-garung lubang hidung.
Aku mengembuskan napas dengan pipi menggembung. Sebal.
Setelah kondisi terlihat aman, lelakiku mendekat, lalu mengangguk sopan ke bapak itu, sambil merangkul pinggangku.
Tidak kebayang, kalau yang datang tadi beneran perampok, apa dia tidak bakalan nolongin aku? Ya Allah, punya suami gini amat.
Akhirnya bapak yang entah siapa namanya itu pergi setelah melihat kemesraan kami. Raut mukanya jadi memerah. Karena malu atau marah? Entah.
Lalu kami pun beranjak ke kamar lagi.
"Fan, misal itu tadi perampok beneran kamu nggak bakal nolongin aku, apa?" tanyaku, dengan tangannya yang masih menggaet pinggangku erat.
Dia malah mengedikkan bahu sambil cengar-cengir. Dih!
"Cemen bener jadi laki," lanjutku menggerutu.
"Kan, Irfan udah bilang kalau ngerasa bahagia punya istri dewasa," jawabnya santai.
0 Komentar