Novel Dewasa CMD - Sudah beberapa hari sejak kejadian kami membereskan persoalan dengan Tiara.
Sejak saat itu pula, kami tidak pernah ke rumah Mama. Dari semalam, Irfan merajuk ingin ke sana dengan aku yang ikut serta. Katanya, kalau dia yang mampir sendirian sepulang kuliah, pasti kangen karena berpisah denganku seharian. Dia memang sering berlebihan.


                    
Akhirnya, kuturuti, karena telingaku seperti berdengung terus mendengar ocehannya. Mau tidur, makan, kuliah, bahkan sebelum buang air pun dia tidak berhenti merayuku.


                    
Untuk buah tangan, aku memutuskan bikin kue. Menantu kesayangan biar tambah disayang, setiap ke sana selalu bawain kue buatan sendiri. Bukan buatan Siti atau pun Dewi.


                    
"Apa lagi, Kak?" Irfan semangat empat lima buat bantuin.


                    
"Keju." Dengan sigap dia membantu.


                    
"Apa lagi?"


                    
"Kotak mika." Tanpa menoleh, kuterima kotak mika dari Irfan. Setelahnya, kuparut keju di atas kue bolu spesial, untuk Mama dan Papa. Cukup dengan sedikit campuran gula dan susu. Kasihan, nanti mereka kena diabetes.


                    
"Selesai!" Aku berseru, berlagak seperti Master Chef yang di televisi.


                    
"Yuk, berangkat." Mata Irfan berbinar. Dia tersenyum, so cute.


                    
"Mandi dulu, lah ...," jawabku.


                    
"Tadi kan, udah, sebelum subuh." Dia cengar-cengir.


                    
"Udah keringetan lagi, Irfan."


                    
"Ya udah, Irfan mandiin yuk."


                    
Aku berkacak pinggang dengan mata mendelik. Padahal sebenarnya, hatiku kebat-kebit Irfan bilang begitu. Tapi dia malah ketawa ngakak.


                    
"Bercanda kali, Kak. Buruan gih, mandi. Yang bersih biar wangi." Irfan berlalu meninggalkanku. Meninggalkan aku yang sedang tersipu, tapi berusaha untuk terlihat biasa saja.


                    
Setelah selesai mandi aku bersiap, memasukkan kue yang sudah terbungkus mika ke dalam kantung plastik. Irfan entah ke mana, ruang tengah atau pun teras begitu sepi.


                    
"Itu anak ke mana, sih?" gumamku, sambil keliling mencari.


                    
"Kak!" Irfan melambaikan tangan dari balik pagar rumah. Dia lagi ngobrol sama bapaknya mbak Rosma. Tidak kusangka, sudah berani dia sekarang. Padahal waktu itu, katanya takut.


                    
"Ayok," ajakku, sembari menutup pintu. Lalu menuju garasi. Beberapa saat kemudian Irfan menyusul.


                    
"Udah nggak takut sama bapaknya Mbak Rosma, Fan?" tanyaku, saat dia sudah masuk ke dalam mobil, mulai menghidupkan mesin.


                    
"Enggak, dong. Dia baik ternyata." Irfan mengeluarkan mobil. Matanya fokus ke spion samping melihat ke belakang.


                    
"Masa, sih?" tanyaku lagi. Karena selama ini, bapak itu jarang berinteraksi dengan orang-orang sekitar.


                    
"Iya, mau bagi tips dia."


                    
"Tips?" tanyaku bingung.


                    
"Eh—" Dia nutup mulut.


                    
"Apaan?" 


                    
"Rahasia ...."


                    
"Ish!"


                    
...


                    
Sampai di rumah Mama aku terkejut, karena banyak orang di sana. Terlihat dari beberapa kendaraan roda dua mau pun roda empat terparkir di halaman.


                    
"Ada apa, ya, Fan?" 


                    
Irfan juga mengamati. Habis itu mengedikkan bahu.
"Kita masuk aja," ajaknya.


                    
Aku pun menurut. Mengekori dia di belakang.
Terlihat ibu-ibu sedang berkumpul di ruang tamu. Berjumlah sekitar dua puluhan orang dengan beragam usia. Ucapan salam dari kami membuat mereka semua menoleh.


                            
          
                
"Wa'alaikumsalam ...," jawab mereka kompak. Semua pasang mata memerhatikan kami.


"Eh, pengantin baru." Seorang Ibu paruh baya menyapa. Lalu disambut dengan ibu-ibu lainnya. Tidak kulihat Mama di sana.


Irfan menarik aku yang mematung di depan pintu. Bingung bercampur grogi, lalu tersenyum ramah sama mereka.
Sempat kulihat satu orang ibu bertubuh tambun menatapku seperti tidak suka. Atau hanya perasaanku saja? Entah.


Kami pun berlalu meninggalkan mereka ke dapur setelah mengangguk sopan.


"Eh, kalian, kapan datang?" Mama keluar dari pintu kamar, sambil membawa beberapa lembar uang.


"Barusan, Ma. Lagi ada arisan?" Irfan nanya. Dia sudah hafal kegiatan Mama, ternyata.


"Iya, ini Mama barusan ambil uang." Mama menutup pintu.


"Tunggu di sini dulu sebentar ya, El." Mama mengelus bahuku. Aku pun mengangguk.


"Yuk, Kak." Irfan menarik tanganku lagi.


"Ke mana?" 


"Ke kamar."


"Ngapain?"


"Lah, ngapain juga kita bengong di sini?" Kami memang masih berdiri di depan pintu kamar Mama.


"Ogah!" Aku memilih ke dapur. 


Kulihat, Mbok Nah sedang sibuk menata kue di piring. Juga minuman kemasan di nampan kecil untuk dibagikan ke teman arisan mama.


"Sini, Mbok, El bantu." Aku menawarkan bantuan setelah meletakkan kantung plastik berisi kue di samping kompor.


"Enggak usah, Non. Biar Mbok aja," jawabnya.


Baru mau nekad bantu, tiba-tiba Mama datang dan mengajakku untuk ke depan.


Mama mengenalkan aku ke teman-teman arisannya. Ada yang ramah, ada yang cuek, ada juga yang biasa aja. Tapi kebanyakan kagum, karena aku masih muda tapi udah mandiri. Ditambah lagi dengan kue yang kubawa tadi juga dihidangkan sama Mbok Nah. Teman-teman Mama semakin lancar memujiku. Padahal tadi niatnya itu untuk Mama dan Papa.


Kulihat ibu yang sejak aku datang tadi bermuka masam, sekarang pun sama. Judes.


Hingga tiba saatnya mereka pulang, aku dan Mama mengantar sampai ke depan pintu.


Tapi si ibu yang bermuka judes tadi keluar paling terakhir, sempat salaman dan cipika-cipiki sama Mama. Di antara banyak teman Mama, cuma si ibu ini yang kelihatannya paling dekat.


"Sehat terus ya, Bu. Semoga Irfan cepet sembuh, terus Ibu dapet cucu," katanya, sambil melirik aku.


Maksudnya apa, coba?
Jangan bilang kalau dia juga tahu tentang Irfan? Emang dia siapa?


"Irfan sudah sembuh, kok, Tante." Kedatangan Irfan di antara aku dan Mama mengejutkan. Tanpa segan tangannya melingkari pinggangku erat. Mirip orang pamer.


Seketika pandangan ibu itu semakin asem kayak jeruk nipis mateng. Tanpa ba-bi-bu lagi dia ngeloyor pergi.


"Dia siapa sih, Fan?" tanyaku ke Irfan.


"Mamanya Tiara."


Jeder!


"Bener-bener ini, Kak. Kayaknya cuma kehamilan yang bisa bikin semua orang yakin kalau Irfan sudah sembuh," bisiknya pelan di telingaku.


Mama yang menyadari kami sedang berbisik bertanya, "Kalian ini kenapa bisik-bisik?"


"Nggak apa-apa, Ma. Ini Kak El, minta dihamilin."
Aku mendelik, refleks mencubit pinggangnya. Ini anak kalau ngomong tidak pakai disaring dulu.


        
          
                
"Ooh, iya dong. El harus segera hamil, Mama sama Papa sudah tidak sabaran pengen nimang cucu." Mama menepuk bahu Irfan penuh harap. Yang ditepuk cengar-cengir.


"Siap, Ma, Irfan udah berusaha keras ini."


Astaghfirullah ... aku menyebut dalam hati, nahan malu sekaligus greget pengen nyumpal itu mulut pakai bibir. Eh.


Belum selesai mereka bicara, dari kejauhan tampak Papa datang dengan mobil pick up. Di sebelahnya ada Pak Sopir juga beberapa karyawan di bak belakang. Mereka membawa bahan pangan mentah banyak banget.


"Fan, itu Papa dateng. Bantuin," kata Mama.


Saat mobil sudah berhenti, mereka menurunkan barang-barang tersebut. Setahuku, setiap bos besar kilang kopi di sini akan membagikan sembako untuk para pelanggan mereka. Bahan pangan itu diserahkan ke para Tauke seperti paman Johan dan yang lain, lalu dibagikan ke para petani. Ini terus terjadi saat di awal atau akhir tahun. Sebagai tanda terima kasih sudah berlangganan sekaligus sedekah.


"Fan, kamu nanti bisa tolong antarkan bagian punya Johan? Yang lain mau ke daerah Atu Lintang juga ke Bukit Sari," kata Papa.


"El ikut, ya," pintaku, sebelum Irfan menjawab. 


"Lah, padahal Irfan mau nolak," kata Irfan di sebelahku, tanpa rasa berdosa.


"Ya udah, aku aja yang antar kalau kamu nggak mau." Aku menjawab cuek lalu menghampiri Papa. Kebetulan juga sudah kangen sama Paman. 


"Eh, ikut ...." Irfan mengekoriku.


....


Berkarung-karung beras, gula, minyak kemasan, juga susu krimer, sudah tertata di mobil. Kami segera meluncur ke rumah paman semata wayangku itu. Bukan aku yang nyetir, tapi Irfan. Dia sedikit cemberut, katanya masih pengen di rumah Mama. Giliran aku bilang biar aku yang ke sana sendiri, dia ngekor juga.


Setelah sampai kami dihampiri para pekerja Paman. Mereka membantu menurunkan barang.


"El, Fan, kok kalian yang antar?" Paman terheran-heran.


"Nggak boleh?" tanyaku.
"Padahal, kan, kangen." Aku mencebik.


"Boleh, lah. Kamu ini, udah bersuami masih ngambekan." Paman mengelus puncak kepalaku. Sejujurnya, aku masih ingin memeluk Paman kalau lama tidak ketemu. Tapi demi menjaga hati dan etika, aku pun urung melakukan. Berusaha menganggap pelukan Irfan sudah cukup. Meskipun beda rasanya. Pelukan suami dan sosok ayah tentulah tidak sama.


Saat mereka asik menurunkan barang, kulihat sekilas dari kejauhan ada Mas Khairi di gudang kopi. Dia memang sering datang ke sini. Bibi Erlin kan, kakaknya.


Irfan masih sibuk bantuin paman. Kugunakan kesempatan ini buat nanya tentang Tiara, apa benar seperti dugaanku, mereka bekerja sama untuk memisahkan aku dan Irfan?


"Mas!" seruku, saat mulai dekat.


Dia menoleh ke arahku, bukannya mendekat malah terkesan menghindar. Mencurigakan.


Kupercepat langkah saat dia mulai menjauh. Tapi saat sampai di dalam gudang dia menghilang. Hal ini semakin membuatku penasaran.


Sampai aku tiba di belakang gudang, tempat pencucian biji kopi yang usai digiling. Agak bau tempatnya, karena berdekatan dengan limbah kulit kopi.


Aneh, kan, kenapa Mas Khairi sembunyi sampai di tempat ini?


Saat ada suara benda terjatuh dari balik bak besar tempat penampungan air aku berjalan ke arah sumber suara. Aku naik ke undakan sisi bak tersebut.


Sayangnya, lantai yang licin karena lendir biji kopi membuatku terpeleset. Bermaksud pegangan di tiang sisi bak, malah tercebur ke dalamnya.


Air tidak terlalu dalam, hanya sebatas dadaku, tapi lantai dasar yang licin karena berlumut juga kemampuanku berenang yang buruk, membuatku kesulitan untuk berdiri. Kepakan tangan dan teriakan meminta tolong sepertinya tidak terdengar dari luar. Para pekerja yang biasa menggiling kopi tengah membantu Paman menurunkan barang bawaan kami tadi.


Entah berapa banyak air yang tertelan. Aku terus berusaha berdiri dan berenang, tapi sulit. Hingga lama kelamaan mulai kehabisan tenaga, kesadaran pun mulai mengambang. Lalu kurasakan ada yang memelukku dari belakang.


Setengah tersadar aku sudah keluar dari air, terbaring di lantai yang dingin.
Samar-samar kulihat seseorang menepuk-nepuk pipi. Memanggil namaku khawatir.


"El, bangun ... El, sadarlah. Maafkan aku, El. Bangun, El ...." Suara itu semakin jauh, tepukan di pipi juga tak lagi kurasakan.


Entah berapa lama aku pingsan, kembali tersadar saat dadaku terasa ditekan-tekan, bergantian dengan benda kenyal menyentuh bibirku, diiringi udara masuk melalui mulut yang sukses membuatku memuntahkan air.


"Hey! Apa yang kamu lakukan?!" Suara itu datang saat aku terbatuk-batuk sadarkan diri.


Tiba-tiba saja Irfan datang dari arah belakang, lalu melayangkan tinju di wajah seseorang yang tengah menyangga tubuhku.


Dia ... Mas Khairi.


Aku kesulitan mencerna dengan apa yang terjadi. Kepala terasa berat, hidung juga sakit, perih bercampur sengau.


"Irfan, cukup!" Sepertinya itu Paman yang menghentikan aksi baku hantam dua lelaki di belakangku ini.


Tubuhku menggigil, Paman membopong dan membawaku ke dalam rumah. Setelah itu, semua kembali gelap.
Ck! Khairi ini, lama-lama minta diketekin juga dia. 🤧🙄 TO BE CONTINUE