Novel Dewasa CMD - Aku mengerjapkan mata. Rasa hangat dan begitu nyaman membuatku mendongak. Kulihat Irfan juga tengah tertidur pulas dengan memelukku. "Pantesan hangat," gumamku. Kemudian baru menyadari, ini bukan kamar kami, tapi di ....

                 
"Rumah Paman?" Aku terkejut juga sedikit linglung. Berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi.
Sesaat kemudian, kejadian yang kualami tadi seperti sebuah slide, memutar dalam ingatan. Aku tadi pingsan, lalu dibopong oleh Paman.

             
"Fan, bangun ...." Kuguncang tubuh Irfan.

                    
"Enghh ...." Dia malah meringkuk.

             
Terlihat di luar lewat jendela, ternyata sedang turun hujan. Kusibak selimut untuk turun dari ranjang, sepertinya hari sudah hampir malam. Aku pingsan selama itu? Rasanya seperti bukan habis pingsan, melainkan bangun tidur seperti biasa. Atau setelah pingsan kebablasan tidur?

              
"Mau ke mana?" Irfan menarik lenganku sambil bergumam. Otomatis posisi kami kembali seperti awal lagi. Aku jatuh ke dalam pelukannya.

                    
"Udah sore, Fan. Bangun." Aku mendongak. 
            
"Bentar lagi, Kak." Irfan membuka mata, menatapku intens. Kulihat sudut bibirnya sedikit membiru. Ah, benar. Dia tadi sempat baku hantam dengan Mas Khairi. Kurasa, Irfan bukanlah lawan yang seimbang untuknya.

                    
Mengingat Mas Khairi, tiba-tiba saja kejadian tadi terlintas di dalam otakku. Napas buatan itu ....

              
Melihat tatapan Irfan yang semakin dalam aku tahu, ada sesuatu di balik sorot mata itu. Ya ampun ... apa yang dia rasakan saat ini?
               
"Fan ...." Aku mencoba mencairkan kecanggungan.

            
Bukannya menjawab, dia malah mengelus bibirku dengan jari jempolnya, sedang keempat jari lain menopang daguku.
            
Siap-siap, akan terjadi baku hantam antara hatiku dan hatinya. Irfan pasti cemburu.

            
"Berapa lama jejak Khairi akan menghilang dari sini?" Irfan bergumam dengan helaan napas yang berat. "Aku pasti bakalan susah lupain hal itu," lanjutnya lagi.
             
Baru mau kujawab, dia sudah ngomong lagi, "Ya ... meskipun itu tadi bukan ciuman, sih, cuma napas buatan. Tapi kenapa hatiku terasa sakit, ya?" Wajah Irfan memerah, seperti tengah menahan amarah. Suaranya juga semakin terdengar berat.
               
"Fan ... ak—aku ...." Bingung, harus menjawab apa?

                
"Maaf." Akhirnya, hanya satu kata itu yang mampu kuucap.
                 
Itu memang salahku, kalau saja aku tadi tidak mengejar Mas Khairi, tentu hal ini tidak akan terjadi. Tapi mau gimana, penyesalan bukankah memang datangnya belakangan? Kalau di awal berarti itu niat, dong.
             
"Kak El nggak salah." Irfan mengecup bibirku.
                
"Enggak. Ini semua salahku. Kalau saja tadi aku nggak ke gudang, hal ini nggak akan terjadi."

              
Cup!

                  
Dapat kecupan lagi.

                
"Yang salah itu Irfan, karena terlambat datang buat nolongin." Irfan menatapku penuh rasa penyesalan. Kami sama-sama menyesal.

                    
"Maaf, Fan. Aku udah bikin kamu cemburu." Tidak tahu kenapa, rasa bersalah yang begitu besar menyeruak dari dalam hatiku. Membayangkan jika berada di posisi Irfan, melihat dengan mata kepala sendiri orang yang kucintai dicium oleh orang lain, pasti akan sangat menyakitkan.
   
                
Ya, meskipun benar seperti kata Irfan, yang tadi itu bukan sebuah ciuman, melainkan tindakan pertama pada kecelakaan. Mas Khairi tidak salah sebenarnya, karena kalau tadi dia tidak langsung menolongku, entah apa yang akan terjadi.

Eh, tapi ... kenapa dia tidak manggil Irfan atau paman Johan, ya?

"Siapa bilang Irfan cemburu?" Irfan mengelak, mencoba menutupi kecemburuannya. Aku tahu, dia pasti bohong.

"Emang nggak cemburu?" 

Irfan menggeleng.
"Enggak, kok. Nggak cemburu. Cuma cemburu banget." Dia tersenyum kecut.

"Maaf," ucapku.

"Nggak perlu minta maaf."
Irfan memberiku kecupan bertubi-tubi. Kecupan ringan yang begitu lembut itu, perlahan menjadi lebih dalam. Kami seperti sedang saling mentransfer energi. Mencecap rasa tanpa henti.

Irfan melenguh, bersamaan dengan suara pintu yang terbuka.

"Astagaa ...!" Itu suara paman Johan. Belum sempat kulihat wajahnya, pintu sudah ditutup lagi. Kami terkikik geli.

"Kamu, sih." Kucubit pinggangnya pelan.


Baru saja mau turun dari ranjang, pintu kebuka lagi.

"Udah ...?" Paman Johan nongol lagi. 
Kulihat, di belakang Paman ada Mas Khairi. Refleks, Irfan menarik lenganku untuk kembali ke ranjang, lalu menutupku seluruh tubuhku dengan selimut. Tentu saja aku terkejut, jantung terasa hampir copot. Dengan sigap, dia memelukku yang dibungkus selimut, mirip seperti kepompong.

"Istriku nggak pakai jilbab," katanya kemudian. Dengan penekanan di bagian kata 'istri'.

Kudengar jantung Irfan kayak tabuhan rebana. Ramai banget. Aku cuma diam saja dikekepin begitu.

Detik berikutnya, kuraba kepala, dan memang benar aku tidak pakai jilbab. Bahkan rambutku masih terasa basah.
Baru teringat, aku tadi habis mandi pakai air pencuci kopi?

Yang benar saja! Jadi pengen bilas pakai air kembang tujuh rupa.

Perlahan, Irfan melepas dekapannya, lalu turun dari ranjang. Terdengar dia membuka lemari baju, yang memang selalu terisi pakaianku. Karena memang kamar ini sering kupakai sejak masih gadis dulu. 

Irfan kembali mendekat, menyodorkan jilbab instan yang segera kukenakan.

"Udah baikan, El?" tanya Paman setelah kubuka selimut.

"Udah, Paman," jawabku, sambil merapikan jilbab.

Kulirik Mas Khairi. Dia menatapku lama, kayak mau nanya sesuatu.
Beralih kulirik Irfan, dia juga melihatku tanpa mau menatap Mas Khairi. Berondongku cemburu berat.

"El ...," panggilan Mas Khairi mengejutkanku dari lamunan.
"Maaf," ucapnya.

Aku bingung, cuma bisa cengar-cengir sambil garuk-garuk kaki. Kayaknya efek air di bak tadi bikin kulitku gatal. Jangan-jangan habis ini aku kena kutu air? Oh, no!

"I—iya, Mas. Nggak papa." Aku bingung. Mau jawab gimana lagi?


"Bisa kita bicara sebentar?" tanyanya lagi.
  
                
Beralih kutatap Irfan, minta persetujuan. Tapi kayaknya dia tidak ngeh dengan tatapanku yang merupakan sebuah kode.

"Sebentar saja," lanjut Mas Khairi.

Irfan berdeham.
"Di luar. Jangan di kamar," katanya.

Iyalah, masa iya aku mau berdua sama Mas Khairi di dalam kamar.

"Aku benar-benar minta maaf, El." Mas Khairi menatapku sendu, sorot matanya menyiratkan sebuah penyesalan.
Saat ini kami sudah duduk berseberangan di ruang tamu.

Irfan? Dia lagi ngawasin kami dari ruang tengah yang berhadapan langsung dengan ruang tamu.

Dia duduk dengan kaki bersila di sofa. Pandangannya tak lepas dari arah kami. Kalau bukan karena saran dari paman Johan untuk kami bicara berdua, mungkin Irfan tidak mau memberi izin.

"Maaf untuk apa, Mas?" Aku sok lugu. Karena sebenarnya ingin tahu, dia merasa bersalah untuk kejadian yang mana? Saat dia ngumpet tadi, atau ketika bekerjasama dengan Tiara?

"Untuk yang tadi," jawabnya. "Maaf, aku udah nyium kamu."

"Emh ... itu tadi, kan, napas buatan, Mas. Bukan ciuman." Kupertegas kejadian siang tadi. Memang itu sekadar napas buatan, kan?

Mas Khairi mengusap tengkuknya, entah merinding atau pegal karena masuk angin.

"I—iya, sih. He he." Dia salting.

"Mas, aku mau nanya, boleh?"
Dia mengangguk sebagai tanda persetujuan. "Mas ngomong sesuatu sama Tiara?" 

Mas Khairi terkejut, terlihat dari bahunya yang mendadak tegap.

"Dia ke toko beberapa hari yang lalu. Sempat sebut nama Mas, gitu." Kuselidik tatapan matanya. Benar saja, dia mulai kelihatan gugup.

"Ti—Tiara?" Dia sok-sokan tidak kenal.


"Iya, Tiara. Aku tahu, kalian ada sesuatu, kan?"


"Engh ... itu—El ... sebenarnya ...." 


"Sebenarnya?" Kuulang perkataannya.


Dia mengusap tengkuk lagi. Aku jadi curiga, jangan-jangan di belakangnya ada makhluk tak kasat mata. Jadi dia merinding gitu.


"Maaf, ya. Aku menyesal," jawabnya.


Fix! Dugaanku memang tidak melenceng.


"Kenapa, sih, Mas? Kenapa nggak bosan buat ngerecokin kehidupan rumah tangga aku?" Mulai geram rasanya. Aku sudah cukup bersabar selama ini, menghadapi tingkah dia dan Revan. Sesulit itukah, move on dariku? 


"Iya, aku tahu. Aku salah, El. Karenanya aku minta buat kita bicara berdua. Salah satunya, ya, aku mau jujur sama kamu," tuturnya.


Dahiku mengernyit. "Soal?"


"Perasaanku."


"Maksudnya?" Aku pura-pura tidak mengerti, padahal sudah paham arah pembicaraan ini. Sableng ini orang, masa iya mau ungkapin perasaan sama perempuan bersuami? Please, deh.
    
                
"Aku suka sama kamu sejak lama. Bahkan sebelum ada Revan. Setelah perpisahan kalian aku kembali berharap, agar kita bisa bersatu."
Demi apa? Sampai Naruto bereinkarnasi jadi Doraemon pun, kayaknya aku tidak bakalan balas perasaan dia. Aku sudah jadi milik Irfan. Buat apa dia ungkapin?

"Nggak mungkin, Mas. Kita nggak mungkin bisa bersatu. Aku sudah jadi milik Irfan. Aku sayang dia. Nggak mungkin ninggalin dia buat bareng sama, Mas," jawabku menggebu-gebu. Aneh saja, masa dia ungkapin perasaan di saat aku sudah punya suami. Ngajak selingkuh? Dih! Amit-amit ....


"Aku nggak minta buat kamu tinggalin dia buat aku. Aku bilang gitu cuma sebagai penjelasan alasan aku berbuat begini." Lembut Mas Khairi berbicara. Padahal aku sudah rada emosi, dan dia tetap stay cool. Ada rasa kasihan, sih. Tapi mau bagaimana?


"Move on, Mas!"


"Aku nggak yakin."


"Jadi, gimana?" Aku mencoba berbaik hati untuk membantu mengatasi perasaan dia. Meski sebenarnya ... enggan.
Lelah, berurusan dengan orang yang ujung-ujungnya bikin lelakiku cemburu.


Lihat saja, tuh, si Manja menatapku dengan tatapan yang memabukkan. Perpaduan cemburu, marah, kecewa, dan ... entah. Yang jelas, dia kelihatan seperti orang lagi kesurupan. Seram.


"El ...," panggilan Mas Khairi membuatku sedikit berjingkat dan beralih dari tatapan ke Irfan, kembali menatap dia.


"Untuk sebentar saja, apa nggak bisa kamu tetap menatapku saat kita berbicara?" tanyanya dengan suara serak. Seperti menahan isak.


"Mas, jadi inti dari pembicaraan kita ini apa?" Aku mulai lelah.


"Ya, itu tadi. Aku hanya ingin meminta maaf sekaligus mengatakan apa alasanku berbuat sejauh itu."


"Lalu?" Aku bingung.


"Aku nggak akan bisa move on dari kamu kalau tetap di sini."


"Hah?"


"Aku mau balik ke Banda, tinggal di sana sama Mama," jawabnya.


Mama Mas Khairi memang tinggal di Banda Aceh. Bersama adik lelakinya yang bungsu. Belum menikah, tapi sudah bekerja. Mereka tiga bersaudara. Bibi Erlin merupakan anak pertama.


"Toko, gimana?" Aku merasa bingung, karena perginya Mas Khairi otomatis toko kue menjadi kosong. Sebenarnya rugi juga, kalau kehilangan koki berbakat seperti Mas Khairi.


Pemasukan dari toko yang dia kendalikan justru lebih besar dari tokoku. Mungkin karena berada di tempat yang lebih strategis dibanding tokoku yang tidak terlalu padat penduduknya. Atau karena dia ganteng plus keren, makanya banyak ciwi-ciwi yang berkunjung? Entah.


"Ada Mella. Dia sudah lama kerja bareng aku, kayaknya dia bisa dipercaya seperti kamu mempercayai aku."


"Iya, deh. Ntar aku bicara sama dia," jawabku. Ada untung juga rugi dia pergi. Tapi mungkin dengan kepergiannya, dia bisa segera move on dariku. Kasihan, kan?


Setelah perbincangan selama tiga puluh menit, waktu magrib pun tiba. Kami sempat salat berjamaah di rumah Paman. Sedangkan Mas Khairi langsung pulang. Mungkin sudah tidak sanggup lagi melihatku dan Irfan. Karena bocah labil itu terus-terusan pamer kemesraan. Dia memang kekanakan.


Belum sempat makan malam, Irfan sudah gaduh minta pulang. Dia, kan, kalau cemburu pelampiasannya lain dari yang yang lain. Mungkin merasa canggung kalau kelamaan di rumah paman Johan. Kami pun pulang. Aku mulai bersiap buat nerima pelampiasan dari kecemburuan dia. Nasib!

Hay, Kakak, Abang, Tante, Om. Kalian udah follow akun wp emaknya Irfan ini, belom? Ig-nya juga?

Hah!!! Apa?! Belomm?!! 😱😱 TO BE CONTINUE